Kamis, 07 November 2019

Roller Coster Terbalik (Part 1)

Sejujurnya aku bingung akan mulai dari mana, cerita ini sungguh hanya untuk mediaku agar aku bisa lepas dari beratnya isi kepala dan hatiku saat ini. Jika ingin diberi judul mungkin cerita ini akan aku beri judul "Roller Coster Terbalik". 

Ya, Roller Coster wahana bermain yang memacu adrenalin dengan lintasan yang berliku liku, memutar, meluncur dari atas ke bawah kemudian berbelok lalu berputar lagi dan lagi. Roller coster itu sepertinya sangat cocok untuk menggambarkan kehidupanku saat ini.

Semua ini berawal dari keputusanku untuk resign dan keputusanku membeli rumah karena nafsu. Tahun 2018 bulan Juni seminggu sehabis lebaran. Keputusan yang sangat sulit untukku kala itu namun, kondisi dirumah memaksaku untuk segera ambil keputusan resign. Anakku yang bernama Haruka genap 4 tahun dan akan masuk sekolah TK A di tahun 2018. Sementara bersamaan dengan itu ART ku meminta izin pulang kampung dan tidak bias kembali. Sekian banyak drama ART sampai aku rasanya tidak ingin lagi berurusan dengan drama ART dan hal itu memaksaku untuk resign secepatnya sebelum Haruka masuk sekolah. Tahun itu juga aku baru saja melahirkan anak kedua Hikaru. 

Dengan kondisi tidak ada ART dirumah dan punya bayi dan Haruka juga akan sekolah akhirnya keputusan itu kuambil juga. Dengan meyakinkan diri dan terus berpikir berpikir positif bahwa aku dan suami bisa dan mampu secara financial jika nantinya aku resign. Ya, seperti kebanyakan tulisan-tulisan pengalaman ibu-ibu lain yang memutuskan resign demi anak dan berpegang pada anak memiliki rezekinya masing-masing dan gaji yang hilang akan digantikan melalui suami. Saat itu aku yakin dan terus meyakini diri sendiri, sholat, berdoa, dan memohon pada Allah semoga keputusan besarku ini benar.

Singkat cerita akupun resmi resign dari kantorku setelah 6 tahun mecari rezeki disana meninggalkan gaji yang susah payah kucapai, meninggalkan segala fasilitas pulsa bulanan, asuransi kesehatan, tunjangan, dan lainnya yang selama 6 tahun kebelakang membuatku nyaman dan tidak kekurangan. 

Pada saat persiapan resign dan tahu akan mendapat pesangon dari kantor akupun seperti dibutakan oleh mimpiku sendiri. Mimpi memiliki rumah sendiri dengan desain yang kusuka, rumah dengan system cluster agar anak-anakku bisabebas bermain, dan mimpi-mimpiku lainnya terkait rumah, 
Seakan dibutakan oleh nafsu dunia, melihat nominal pesangon yang kudapatkan cukup besar dan saldo tabungan yang cukup juga aku dengan percaya diri meminta membeli rumah kepada suamiku. Suamiku yang sudah sangat paham dengan mimpiku dan keinginanku dari dulu tanpa piker panjang mengiyakan permintaanku karena dia tahu kami akan mendapatkan cukup uang untuk bisa membayar DP rumah.

Saat itu aku berpikir jika tidak sekarang sebelum aku resign maka kami tidak akan bisa membeli rumah karena single income. Ketakutan akan kehilangan mimpiku membuatku semakin buta, detik-detik resign aku asyik dengan mencari rumah dan mensurvey rumah. Suamiku hanya mengikutiku karena dia ingin aku sendiri yang memilih rumahnya plus sebagai kado ulang tahunku nanti. Bayangkan betapa bahagianya aku nanti ketika ulang tahun sudah memepati rumah baru sebagai kado dari suamiku.

Singkat cerita kami memiliki 2 pilihan rumah yaitu di Bellacasa Residence dan De Kraton Residence. Rumah impianku dari segi denah, luas dan lokasi semuanya ada pada De Kraton Residence tetapi karena itu perumahan perorangan bukan pengembang besar jadi untuk pengjuan KPR kami harus mencari sendiri, sementara untuk Bellacasa Residence KPR sangat mudah dan dibantu. Singkat cerita karena persoalan KPR entah pikiran dari mana tiba-tiba aku memutuskan membeli rumah di Bellacasa bukan De Kraton yang aku impikan. Saat itu rasanya seperti dihipnotis pikiranku mengawang-ngawang. Prosesnya sangat cepat aku WA marketingnya deal harga transfer tanda jadi dan DP tak lama proses KPR cair dan tandatangan AJB.

Setelah tanda tangan AJB sesampainya dirumah entah kenapa rasa penyesalan tiba-tiba hadir dan air mata deras mengalir saat itu. Sesak sekali rasanya ketika sadar bahwa aku membeli rumah dengan harga tinggi tapi tidak sesuai seperti yang aku inginkan dan parahnya aku terjerumus dosa RIBA.  Kuhubungi pihak bank, marketing kutanya jika ingin cancel bagaimana. Ternyata tidak bisa dan mereka menyarankan lanjut saja nanti baru dijual.

Nasi sudah menjadi bubur, tak ada yang bisa ku lakukan saat itu selain pasrah berserah diri. Tangisanku disetiap sholat dan malam-malam sebelum tidur membuatku dan suami sering bertengkar. Aku merasa menyesal yang amat sangat, suami mungkin serba salah apa sebenarnya yang kuinginkan. 

Semakin hari semakin sakit rasanya, apalagi ketika aku membuka-buka artikel tentang RIBA. Bulu kudukku berdiri sekejap, hati tidak tenang dan gelisah terus menerus memikirkan hari kedepan. Tanggungan yang tidak bias dibilang kecil dan parahnya sekarang semua beban tanggungan itu hanya bias dari penghasilan suamiku.

Sejak saat itu sejak kami membeli rumah kehidupanku bagai roller coster terbalik, masalah silih berganti datang, sakit berkepanjangan, suasana rumah yang muram, kosong. Ya, benar mungkin sebagian orang atau bahkan semua orang yang membaca cerita ini akan langsung menjudge diriku sebagai orang yang tidak bias bersyukur. Betul sekali, mungkin memang itu yang bisa menggambarkan diriku sekarang. Orang yang tidak bisa bersyukur.

6 bulan lamanya aku terus berada dalam penyesalan tentang rumah, semakin takut semakin harinya dengan dosa RIBA yang kujalani. Takut aka nada bencana atau masalah dalam rumahku karena RIBA ini. Sampai semakin hari semakin hari aku mulai bisa berdamai dengan diriku sendiri. Aku mulai melupakan kejadian rumah meski ketika membahasnya ada perih tapi aku mulai bisa menguasai emosiku. 

Selama dua tahun aku dan suami berusaha patuh untuk membayar tagihan KPR dengan susah payah. Setiap bulannya kami harus rela mentransfer 47% dari total gaji suami ke bank untuk membayar cicilan KPR. Sisanya untuk kebutuhan hidup kami selama sebulan. Apakah cukup? Tentu saja tidak, banyak yang harus kami korbankan untuk memenuhi biaya hidup kami. Bahkan setiap bulan kami defisit. 

Rasa sakit semakin menjadi ketika kami benar-benar tidak mempunyai saldo sepeserpun di rekening kami. Modal usaha online shopku akhirnya kupakai untuk menutupi kekurangan biaya hidup kami. Lama semakin lama modal usahaku habis ludes untuk sehari-hari kami. Usahaku bangkrut, suamiku merasa insecure karena merasa tidak bias menafkahi kami dengan baik. Hidupku berubah 180 derajat dari sebelum aku resign dan membeli rumah.

Pernah beberapa kali kami tidak memiliki biaya untuk berobat anak kami yang sakit, sementara asuransi dikantor suamiku limitnya kecil sehingga tidak menutup biaya pengobatan. Tagihan listrik dan air yang akhirnya terpaksa kami tunggak, saluran tv berlangganan yang terpaksa kami putus, internet dan telp rumahpun ikut kami putus untuk mengurangi biaya pengeluaran kami. Aku sebagai istri sekaligus ibu saat itu rasanya sudah hancur, baby blues menyerangku. 

Ya, aku stress dan depresi, aku merasa menjadi istri dan ibu yang gagal. Aku yang menyebabkan masalah ini, aku yang mendatangkan bencana ini ke keluargaku. Pun sampai saat aku menulis ini rasa penyesalan dan bersalah masih sangat kurasakan. Beruntung aku masih ingat Allah, beruntung aku memiliki suami yang penyabar, beruntung Allah masih saying kepadaku dan membiarkanku hidup meski dalam tekanan hidup.

Aku yang tadinya seorang wanita karir, penghasilan diatas rata-rata, hidup nyaman, tidak pernah kekurangan, bisa membeli apapun yang kusuka tanpa meminta suami, mandiri sekarang berubah menjadi wanita yang hanya bias pasrah. Pasrah harus menahan keinganan-keinganan yang kusuka, berpikir ribuan kali untuk membeli makan diluar, berpikir ribuan kali untuk membeli sesuatu apapun itu pun yang harganya tergolong murah. Bahkan aku harus rela menahan lapar dan haus dijalan karena tidak ada cukup uang lagi. Aku harus rela hanya bias melihat-lihat menu-menu go food tanpa memesannya. Akupun harus rela mencari alasan jika anak-anakku meminta beli maianan.
Tak ada lagi makanan mall, taka da lagi jajan diluar, taka da lagi shopping di mall, tak ada lagi baju baru atau mainan baru. Semua sudah berubah... 

(bersambung)

Writing is Healing…

Entah sudah berapa lama aku meninggalkan dunia menulisku, hoby yang seakan hilang timbul seperti buih dilautan. Hilang karena terbawa angin laut, timbul karena benturan ombak.

Ya, biasanya memang aku ingin menulis saat diriku merasa butuh tempat meluapkan rasa yang mungkin tak bisa diungkapkan lewat kata lisan. Bisa dibilang keinginan menulis muncul kala hati sedang gundah gulana tak tentu. Berbeda jika sedang bahagia, keinginan menulis biasanya menurun karena terlelap dengan kebahagian itu sendiri.

Terlepas dari itu, sekarang keinginan itu muncul ya tidak lain karena isi kepala dan hati sudah tidak mampu menampung untuk berpura-pura baik baik saja. Lewat tulisan yang saat ini sedang viral “Layangan Putus” aku baru mengenal istilah Writing is Healing. Ya, sungguh aku baru tahu istilah itu setelah membaca tulisan Layangan Putus. Kuputuskan untuk menulis lagi bukan untuk menandingin viralnya tulisan Layangan Putus atau ingin dikenal. Aku hanya ingin mengikuti cara agar aku tetap baik baik saja. Writing is healing...